Close Call : Wanita Muda Berjuang Saat Semua Orang Ingin Membunuhnya

                  




Close Call  berpusat di sekitar gadis remaja bermasalah yang ditinggal sendirian di rumah dengan gadget-nya sendiri. Saat malam semakin larut, dia mulai mengalami rangkaian peristiwa yang menakutkan sambil berjuang melawan imajinasinya sendiri dalam surat cinta bergenre horor ini yang sebagian merupakan kisah masa depan.



Satu hal yang menonjol dari film ini sejak awal adalah estetika retro yang menarik secara visual. Ini keren mengingat film ini didasarkan pada periode waktu zaman sekarang. Opening perusahaan produksi ditampilkan di layar dengan pita VHS yang dimasukkan ke dalam logo. Tidak hanya itu, tetapi juga diiringi dengan musik jingle intro yang sangat keren. Kemudian ada filter 'retro' berbintik yang diterapkan selama apa yang diasumsikan sebagai pasca produksi, yang dijalankan dengan sangat baik. Background musik tahun 80-an terdengar synth, gelap dan tidak menyenangkan. Mengingatkan akan karya-karya John Carpenter.





Alur cerita, meskipun kadang-kadang sulit untuk diikuti, bertahan dengan sangat baik; apalagi untuk film yang memiliki budget yang lumayan rendah. Karakter utama, Morgan (Jordan Phipps), diuji kewarasannya melalui beberapa situasi paling aneh dan menyebalkan yang bisa dibayangkan. Setiap situasi benar-benar berbeda dari yang berikutnya, yang semuanya terinspirasi oleh film horor / thriller lain yang lebih populer. Kadang-kadang, dalam film horor indie beranggaran rendah pemirsa bisa dibuat bosan. Namun tidak demikian dengan Close Call. Memiliki waktu tayang hanya sekitar 2 jam, penontonnya merasa waktu berlalu begitu saja. Mereka akan menginginkan lebih karena membutuhkan penjelasan yang lebih jelas tentang apa yang baru saja disaksikan.





Salah satu kelemahan film ini bagi saya adalah bagian akhirnya. Setelah semua kejadian gila ini terjadi,  film ini seharusnya memiliki akhir yang lebih kuat. Ada titik di mana ia mulai masuk ke apa yang tampak seperti tipe film Lords of Salem. Pemirsa akan merasa kesulitan memahami endingnya.  Sebuah hal yang positif untuk sebuah sekuel namun terasa nanggung bagi yang sudah menikmati dari nol.












Morgan, seorang remaja yang bermasalah dan kecanduan narkoba, harus berurusan dengan neneknya yang gila dan penelepon psiko ketika ayahnya meninggalkan rumahnya sendirian. Ketika panggilan terus berdatangan, Morgan yang paranoid dipaksa untuk menghadapi beberapa ketakutan terburuk dan setan dalam batinnya ketika dia percaya semua orang yang dia kenal sedang merencanakan untuk melawannya - atau mencoba membunuhnya.




Jelas bahwa Close Calls dibuat oleh laki-laki. Pandangan laki-laki stereotip (dan jelas dibuat dengan gaya ini) lazim di setiap bagian cerita. Ini bisa sedikit melelahkan karena terkadang mengganggu jalan cerita. Namun satu hal yang kuat dari cerita itu adalah kenyataan bahwa wanita di sini adalah yang berkuasa. Terutama tokoh utama Jordan Phipps sebagai Morgan (yang memiliki berbagai macam masalah), dan juga Carmen Patterson. Penulis dan sutradara Richard Stringham merangkainya dalam sebuah kisah yang gila dan membuat penontonnya tenggelam.

















Comments