Beauty and The Beast and The Gay
Ketika Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia memutuskan untuk meloloskan film Beauty and the Beast
yang disebut-sebut mengandung konten gay, muncul kekuatiran orang tua untuk mengajak anak-anaknya menonton film ini. Idealnya, film itu dikenai pembatasan usia. Hanya penonton berusia 13 tahun ke atas yang bisa menyaksikannya di bioskop.Nyatanya, penonton membludak termasuk anak-anak kecil dibawah batasan usia.
Jadi, pertanyaannya: jangan-jangan produser film sengaja menghebohkan salah satu adegan dalam Beauty and The Beast untuk menimbulkan kontroversi? Bukankah dengan adanya kontroversi, film yang dibintangi Emma Watson ini akan semakin membuat penasaran?
Sutradara Bill Condon yang mengungkapkan ada 'momen gay' antara tokoh antagonis Gaston, dan temannya, LeFou. "LeFou ini adalah orang yang kadang iri dan ingin menjadi seperti Gaston yang kuat, tetapi kadang dia ingin mencium Gaston. Dia bingung dengan perasaannya." Sebuah ekspresi yang mungkin tidak begitu bisa kita mengerti.
Lembaga Sensor Film (LSF), melalui komisionernya, Rommy Fibri, menegaskan Beauty and
the Beast telah 'lulus sensor.' "Artinya tidak ada yang disensor, direvisi atau dikaburkan (saat penayangan),"jelasnya. Jika demikian apakah para penonton dapat melihat adegan 'momen gay' dalam film yang diklaim Disney sebagai: 'film pertama dengan karakter dan menampilkan adegan bernuansa gay' tersebut?
Ketua LSF Ahmad Yani Basuki menjawabnya,"Disney menyebut untuk pertama kalinya ada tokoh gay, kami menyadari itu. Tapi sesuai peraturan, kriteria penyensoran dan ketentuan LSF, adegan LGBT yang diramaikan itu tidak memperlihatkan nuansa gay. Ini film dongeng dan adegan LGBT tidak ada di situ, tidak terlihat," kata Yani. Tim sensor saja tidak menyadari adegan gay yang dimaksud.
Barangkali hal ini yang menjadi dasar masyarakat Indonesia menepis keraguannya seraya mengajak anggota keluarganya ramai-ramai menonton film yang sedang kekinian ini. Apalagi di Amerika sendiri film ini sukses meraih box office beberapa hari setelah tayang perdananya. Kisah dongeng klasik si Buruk Rupa dan si Cantik rasanya memang selalu dinantikan keluarga.Terlepas dari isu LGBT yang menemaninya. Ingat juga karakter Oaxen dalam animasi Frozen yang pernah menjadi perdebatan, apakah ia gay atau bukan. Tak cukup menghalangi Frozen ditonton begitu banyak orang. Lalu bagaimana jika sineas Hollywood kemudian membuat sekuelnya dengan judul Beauty, The Beast and The Gay?
Ketika Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia memutuskan untuk meloloskan film Beauty and the Beast
yang disebut-sebut mengandung konten gay, muncul kekuatiran orang tua untuk mengajak anak-anaknya menonton film ini. Idealnya, film itu dikenai pembatasan usia. Hanya penonton berusia 13 tahun ke atas yang bisa menyaksikannya di bioskop.Nyatanya, penonton membludak termasuk anak-anak kecil dibawah batasan usia.
Jadi, pertanyaannya: jangan-jangan produser film sengaja menghebohkan salah satu adegan dalam Beauty and The Beast untuk menimbulkan kontroversi? Bukankah dengan adanya kontroversi, film yang dibintangi Emma Watson ini akan semakin membuat penasaran?
Sutradara Bill Condon yang mengungkapkan ada 'momen gay' antara tokoh antagonis Gaston, dan temannya, LeFou. "LeFou ini adalah orang yang kadang iri dan ingin menjadi seperti Gaston yang kuat, tetapi kadang dia ingin mencium Gaston. Dia bingung dengan perasaannya." Sebuah ekspresi yang mungkin tidak begitu bisa kita mengerti.
Lembaga Sensor Film (LSF), melalui komisionernya, Rommy Fibri, menegaskan Beauty and
the Beast telah 'lulus sensor.' "Artinya tidak ada yang disensor, direvisi atau dikaburkan (saat penayangan),"jelasnya. Jika demikian apakah para penonton dapat melihat adegan 'momen gay' dalam film yang diklaim Disney sebagai: 'film pertama dengan karakter dan menampilkan adegan bernuansa gay' tersebut?
Ketua LSF Ahmad Yani Basuki menjawabnya,"Disney menyebut untuk pertama kalinya ada tokoh gay, kami menyadari itu. Tapi sesuai peraturan, kriteria penyensoran dan ketentuan LSF, adegan LGBT yang diramaikan itu tidak memperlihatkan nuansa gay. Ini film dongeng dan adegan LGBT tidak ada di situ, tidak terlihat," kata Yani. Tim sensor saja tidak menyadari adegan gay yang dimaksud.
Barangkali hal ini yang menjadi dasar masyarakat Indonesia menepis keraguannya seraya mengajak anggota keluarganya ramai-ramai menonton film yang sedang kekinian ini. Apalagi di Amerika sendiri film ini sukses meraih box office beberapa hari setelah tayang perdananya. Kisah dongeng klasik si Buruk Rupa dan si Cantik rasanya memang selalu dinantikan keluarga.Terlepas dari isu LGBT yang menemaninya. Ingat juga karakter Oaxen dalam animasi Frozen yang pernah menjadi perdebatan, apakah ia gay atau bukan. Tak cukup menghalangi Frozen ditonton begitu banyak orang. Lalu bagaimana jika sineas Hollywood kemudian membuat sekuelnya dengan judul Beauty, The Beast and The Gay?
Comments
Post a Comment